CERPEN : Langit Mendengar
Perpustakaan Sekolah Pahoa
Email : Perpustakaan_Pahoa@yahoo.co.id
Lomba Menulis Cerpen 2010 : Sekolah Pahoa
Penulis : Ellen Jovita Zaman
Unit : SMA Pahoa
Langit Mendengar
Hujan rintik-rintik turun perlahan dari kumpulan awan yang tak sanggup lagi menahan beratnya titik-titik air di dalamnya. Senada dengan suasana hatiku yang kelabu. Kalau bukan karenanya, aku mungkin sudah menumpahkan kesedihanku dengan tetesan air mata. Tapi terkadang, aku merasa bahkan air mata ini sudah tidak pantas kukeluarkan untuk menangisi hal ini. Sesuatu yang tidak berguna dan tidak akan berguna karena mereka tidak punya mata untuk melihat air mata yang menetes. Tidak punya telinga untuk mendengar rintihanku yang tertahan. Tidak punya hati untuk merasakan kesedihanku. Mereka tidak punya itu. Sungguh hebat! Orang tua macam apa mereka itu.
Di saat aku mendengar suara pecahan kaca yang membuatku ketakutan, aku tidak bisa berlari kepada orang tuaku, karena merekalah yang memecahkannya. Justru langitlah yang ikut merasakan kesedihanku. Langit selalu menangis mewakiliku, sehingga aku tidak perlu lagi mengeluarkan air mata. Tapi alasan terbesar ialah karena aku tak mau ia melihatku menangis. Ia memang tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang. Ia juga memang tidak bisa mengerti cairan apa yang kukeluarkan dari mataku dan mengapa aku mengeluarkannya. Tetapi aku yakin ia selalu bisa merasakan suasana hati orang disekitarnya. Itu yang membuatku tidak mau larut dalam kesedihanku, membuatnya merasakan kesedihanku juga. Biarlah langit yang mewakili kesedihanku. Aku akan tetap menemaninya di sini. Meski ia berada dalam dunia yang tidak terjamah olehku, aku akan tetap bersamanya selalu.
“Tidak usah bawa-bawa Tara dalam masalah ini!” Suara sopran melengking tinggi dibalik pintu ini. Pintunya kurang tebal untuk dapat meredam semua keributan itu.
“Tentu saja dia harus dibawa-bawa, karena aku tidak sudi merawatnya jika kita telah bercerai nanti! Kau yang harus mengurusnya!” Hardik suara bass yang sarat emosi.
Cerai! Entah sudah berapa kali kata itu terucap dengan mudahnya dari bibir mereka. Seakan-akan mereka membicarakan perceraian antara dua orang individu. Mereka lupa bahwa di sini ada aku dan dia. Buah hati yang dulu sempat mereka harapkan kehadirannya. Bukti bahwa dulu mereka pernah saling mencintai. Bukti bahwa dulu mereka sempat membina rumah tangga yang harmonis. Karena, bukti-bukti tersebut sekarang tidak berarti lagi. Siapa pun yang mendengar pertengkaran ini tentu tidak menyangka mereka mempunyai dua orang anak yang pernah mereka rawat bersama dengan kasih sayang. Tidak tahu telah menguap kemana semua rasa cinta itu. Cinta yang tak lekang oleh waktu? Huh, hanya bualan yang bahkan tidak bisa kubayangkan pernah berlaku di sini.
“Kau yang melahirkannya, kau yang dulu menginginkannya meski kau sudah tahu dia tidak akan lahir sempurna! Kau yang harus bertanggung jawab!” bentak suara bass yang disertai rasa tidak peduli. Aku melewatkan percakapan si suara sopran yang mungkin mempertanyakan pernyataan suara bass tadi.
“Tapi jangan lupa bahwa kau juga memiliki andil besar dalam kekurangannya! Kau tentu tahu dengan jelas mengapa aku tidak bisa melahirkannya dengan sempurna! Kau yang telah membuatnya cacat!” Suara sopran melengking kemudian melemah diiringi isak tangis yang sedari tadi berusaha ditahannya. Setelah beberapa detik, aku mendengar suara pintu dibanting keras. Seseorang telah pergi, untuk sementara pertengkaran tiada ujung ini selesai.
Lagi-lagi hatiku tergores tajamnya serpihan kaca yang telah pecah tadi. Walau bagaimanapun mereka tetap orang tuaku. Anak mana yang menginginkan perceraian orang tuanya? Anak mana yang tidak peduli sama sekali terhadap orang tuanya? Aku ingin sekali berlari keluar kamar dan memeluk mama seraya mengatakan semua akan baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menguatkannya sementara aku sendiri sedang lemah. Aku tidak bisa mengatakan ‘semua akan baik-baik saja’ padahal aku tahu kenyataannya berlainan.
Aku kembali mengalami dilema dalam batinku. Aku begitu frustrasi menghadapi keadaan ini sampai-sampai aku melupakannya. Dia masih asyik menggambar kupu-kupu, serangga kesukaannya, dengan sungguh-sungguh. Tetapi pada dasarnya tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Aku berdiri untuk menghampirinya lebih dekat. Kupeluk ia dari belakang. Tara malang.. Mengapa kau harus bernasib seperti ini? Ia tidak bereaksi apa-apa ketika kupeluk. Berbeda dengan sebagian besar anak-anak lain yang normal. Adikku memang istimewa, tetapi dalam bahasa awam ia lebih dikenal sebagai anak autis. Tetapi mungkin dengan keadaan seperti ini akan jauh lebih baik untukmu. Karena kau tidak perlu mengerti apa yang sedang terjadi di rumah ini. Nikmatilah duniamu sendiri, sepertinya itu lebih menyenangkan. Ya, kadang aku juga ingin dunia seperti itu. Dunia ciptaanku sendiri yang tidak boleh dimasuki siapa pun yang tidak aku inginkan. Dunia penuh kebahagiaan.
Gambarnya sudah mau selesai ketika aku berdiri dan beranjak ke luar kamar untuk melihat keadaan ruang tengah. Aku keluar setelah memastikan keadaan di luar cukup hening dan setelah memastikan mama telah pergi juga dari rumah. Tara masih asyik menggambar kupu-kupu serta mulutnya yang menggumamkan sesuatu yang tidak aku mengerti saat aku mengintip sekali lagi sebelum aku menutup pintu. Ia benar-benar tidak merasakan ketidakhadiranku di sisinya. Kemudian aku menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan bunyi berdecit. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasinya, berlebihan memang karena konsentrasinya tidak begitu mudahnya terganggu hanya dengan decitan pintu.
Seperti sebelumnya, keadaan rumah sangat berantakan. Pecahan kaca di sana-sini, bau alkohol bercampur asap rokok masih tercium tajam, majalah dan koran yang berserakan. Aku memunguti pecahan-pecahan kaca dengan hati-hati. Aku sering melakukannya, jadi tidak butuh waktu lama untuk membereskan semuanya. Setelah menyapu dan merapikan kembali majalah dan koran ke tempatnya, aku tidak lupa untuk menyemprotkan pengharum ruangan hingga menutupi bau tajam rokok dan alkohol.
Hari ini hari minggu. Keluarga-keluarga lain biasanya menghabiskan waktu di luar untuk sekadar berjalan-jalan atau berbelanja. Hal ini tidak berlaku bagi keluargaku. Papa dan mama memang tidak pernah ada di rumah pada hari Minggu. Tetapi juga tidak pernah mengajak aku dan Tara jalan-jalan. Jadi, hari Minggu seperti ini biasa kuhabiskan hanya bersama Tara di rumah. Pada sore hari biasanya kami bermain di taman dekat rumah untuk menghirup udara luar. Merasakan kedamaian sejenak, sebelum kembali ke rumah yang pengap dan senyap.
Aku telah selesai menyiapkan sarapan untuk Tara dan aku. Aku memasak pancake dengan es krim stroberi kesukaan Tara. Tepat pada saat itu, Tara keluar dari kamar dengan wajah penuh coretan krayon, aku segera menghampirinya.
“Tara sayang, wajahmu berwarna-warni! Kau sangat suka krayon, yah?” ujarku lembut sambil mengusap rambut halusnya.
“Bagaimana kalau kita mandi sekarang? Kau suka bermain air kan, Tara?” Ajakku bersemangat Mendengar kata ‘air’, Tara langsung melonjak-lonjak gembira. Dari dulu, ia memang senang bermain air layaknya anak-anak seusianya yang lain. Kebetulan aku telah menyediakan air hangat untuk memandikannya. Kami berjalan bergandengan tangan menuju kamar mandi dengan Tara yang masih saja melompat-lompat kegirangan.
Tara anak yang sangat ekspresif, ia akan tertawa bila suasana hatinya senang dan berada bersama orang yang dapat membuatnya nyaman. Tapi ia tidak akan segan-segan menangis meraung-raung dan melawan jika sedang marah atau bersama orang yang tidak dikenalnya. Aku ingat saat Tara diajak pergi ke rumah Tante Nita. Di sana ia diajak bermain oleh anak tante Nita, tetapi karena Tara masih masih sangat kecil dan labil bukannya bermain bersama, Tara malah mencakar dan menjambak anak tante Nita yang mengambil bonekanya. Tentu saja papa dan mama dibuatnya kewalahan dan merasa tidak enak kepada Tante Nita. Kami buru-buru berpamitan dan sejak saat itu Tara tidak pernah diajak pergi ke rumah saudara-saudara kami lagi.
Ketika sedang asyik bermain air dan busa, aku keluar sebentar untuk mengambil baju ganti Tara di kamarnya. Ternyata di kamar Tara krayon pun bertebaran dimana-mana. Aku memungutinya satu-satu dan menyusunnya kembali ke tempatnya. Di samping krayon tersebut, ada secarik kertas yang penuh dengan coretan warna-warni krayon. Aku tertarik untuk melihat seperti apa hasil akhir gambar tersebut. Gambar tersebut membuat hatiku terasa terkoyak. Gambar kupu-kupu yang tadi kulihat sebenarnya hanya menjadi hiasan saja. Gambar yang sebenarnya adalah kami sekeluarga, papa, mama, aku dan Tara sedang bergandengan tangan bersama di sebuah taman penuh kupu-kupu. Andaikan gambar tersebut dapat diwujudkan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana senangnya Tara saat itu. Gambar ini juga membuktikan bahwa sebenarnya Tara bisa merasakan kebersamaan keluarga. Inderanya tidak tumpul sepenuhnya. Bahkan ia mungkin bisa menjadi lebih peka terhadap sekitarnya daripada aku sendiri. Itu mungkin saja terjadi, karena tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran adikku. Suatu hari aku akan membuktikan bahwa adikku memang anak yang istimewa. Sehingga tidak akan ada lagi yang akan memandangnya sebelah mata, bahkan tidak orang tua kami sendiri. Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak ada yang mendengar. Tapi aku tahu, Tuhan dan langit pasti mendengarku.
~~~oOo~~~
Sepertinya aku sudah setengah tidur saat mendengar pintu rumah dibuka dengan kasar. Malam sudah larut, mungkin papa atau mama memutuskan pulang ke rumah. Aku terlalu malas untuk mengeceknya ke luar. Lagipula hujan lebat disertai petir dan kilat yang bersahut-sahutan semakin menahanku di tempat tidur. Mungkin aku hanya salah dengar, pikirku dalam hati. Kemudian aku semakin dalam memasuki alam bawah sadarku.
Cahaya putih berkilauan di ujung ruangan. Menyilaukan. Perlahan aku menyusuri ruangan tersebut, rasanya tidak asing. Ah, ini adalah kamar Tara! Samar-samar aku melihat meja belajarnya, lemari pakaian di sebelahnya dan itu dia Tara. Duduk diam sambil menggambar di samping tempat tidurnya. Tangannya asyik menggoreskan krayon di kertas putih. Lagi-lagi ia tidak menyadari kehadiranku. Aku berjalan pelan ke arahnya, seperti biasa ingin duduk di sampingnya dan menemaninya. Aku terus berjalan lurus menyusuri ruangan itu tepat menghadap pada Tara. Tapi entah mengapa aku tidak juga dapat mencapai tempatnya. Aku seperti berjalan di tempat, sementara Tara tidak juga mendekat. Aku menyerah, mulai kupanggili namanya berharap Tara akan menoleh dan menyambutku dengan senyum mengembang di bibirnya. Kupanggili terus namanya, tetapi ia tidak pernah menoleh meski sekejap saja. Ia terlalu asyik dalam dunianya sendiri, dunia tanpa aku.
Aku tidak boleh putus asa! Aku kembali melangkah satu-persatu agar dapat menghampirinya. Aku bahkan mulai berlari dan berlari ke arahnya, tetapi tidak juga aku mencapainya. Kemudian, dengan tiba-tiba cahaya putih tadi menyeruak memenuhi ruangan lalu membutakan. Aku tidak bisa lagi melihat Tara, tidak bisa lagi memandang sekelilingku. Rasa panik mulai menyelimuti diriku, tapi kakiku kupaksa terus melaju. Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku terus berlari dengan mata yang buta dan tanpa arah. Lari dan terus lari hingga kakiku lemas dan aku jatuh terduduk. Mulutku terus memanggili nama Tara sementara mataku hanya bisa menangkap warna putih menyilaukan. Napasku terengah-engah dan aku mulai merasa pusing.
Aku terbangun dengan perasaan kacau-balau dan peluh yang membasahi wajah dan bajuku. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat menyeramkan. Napasku masih terengah-engah, bagai seorang pelari yang baru saja menyelesaikan lari maratonnya. Masih pukul setengah empat subuh saat aku mengecek jam bekerku. Aku mengintip ke jendela, ternyata gerimis masih setia menemani gelapnya pagi. Langit kembali menangis, mengapa engkau bersedih? Semoga bukan kejadian yang buruk yang akan terjadi.
Aku memutuskan untuk segera bangun dan melihat wajah Tara. Hanya dengan itulah aku dapat merasa tenang kembali. Ya, aku hanya perlu keluar dari kamarku dan pergi ke kamar sebelah untuk melihat wajah malaikatnya yang sedang tertidur pulas. Itu sudah cukup. Perlahan aku menutup kembali pintu kamarku dan membuka pintu kamar Tara. Decitan halus pintu terdengar sangat keras di suasana sesunyi ini. Mataku membutuhkan waktu menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar Tara yang tak berjendela. Ketika mataku telah menyesuaikan diri, mataku meraba-raba di mana letak tempat tidur Tara dan mencari sosok yang sedang tertidur di atasnya. Sebenarnya aku bisa saja langsung menyalakan lampu yang saklarnya tepat di sebelah pintu. Tetapi aku tidak ingin mengambil resiko Tara akan terbangun. Jadi, aku berjingkat-jingkat mendekati tempat tidurnya agar dapat melihat wajahnya lebih jelas. Tanganku menyingkap pelan selimutnya. Betapa kagetnya aku ketika tidak mendapati Tara di atas tempat tidur. Aku berlari untuk menyalakan lampu kamar. Aku tidak salah, Tara memang tidak berada di tempat tidurnya. Aku kembali berlari menuju kamar mandi untuk mengecek. Hasilnya nihil. Aku mulai berteriak memanggili namanya. Tidak mungkin anak sekecil itu hilang begitu saja dari rumah. Aku ingat dengan jelas, tadi malam ia tertidur di tempat tidurnya setelah kudongengkan cerita kesukaannya, Putri Salju. Tidak mungkin Tara kabur ke luar rumah di tengah malam. Apalagi dengan hujan lebat dan petir seperti itu. Tidak masuk akal!
Aku mencari Tara di setiap sudut rumah. Tetapi ia tetap tidak ada. Hanya satu ruangan yang belum kucari. Kamar papa dan mama. Sejak kecil, Tara tidak pernah masuk ke kamar itu, sedangkan aku hanya pernah ke kamar itu beberapa kali ketika aku masih kecil. Dengan hati-hati aku menekan daun pintu dan mendorongnya. Mataku langsung tertuju pada tempat tidur besar yang dulu sering menjadi tempat bermainku. Cahaya temaram memancar dari lampu kecil di sudut kamar. Samar aku melihat sesosok tubuh terbaring di atas tempat tidur. Tetapi tubuh itu terlalu besar untuk tubuh anak-anak. Pelan-pelan aku berjalan mendekati tempat tidur itu.
“Mama?” Tanpa sadar aku menyuarakan pikiranku setelah melihat sosok yang tertidur pulas di atas tempat tidur itu. Mendengar seseorang memanggilnya, mama pun terbangun dan membuka kedua matanya yang mengantuk.
“Tirza? Kau sudah bangun? Jam berapa ini?”, ujarnya sambil menguap lebar dan mulutnya mengeluarkan bau alkohol yang tajam.
“Mana Tara ma? Mama bawa ke mana dia?” , tudingku tanpa berbasa-basi lagi.
“Apa sih maksud kamu? Tara yah di kamarnya.. Mungkin dia masih tidur..” Jawab mama sekenanya tanpa beranjak dari tempat tidurnya.
“Ma! Mama jangan menyembunyikannya lagi! Pasti mama telah membawa Tara pergi dari rumah ini. Iya kan? Katakan yang sebenarnya ma!” Habis sudah kesabaranku. Aku mulai berbicara dengan keras pada mama. Ya, seorang wanita di penghujung tiga puluhan dengan bau alkohol dan rambut yang berantakan adalah mamaku. Apakah ada sosok mama seperti ini?
“Ahh! Jangan berisik! Mama memang telah membuangnya! Membuang Tara, anak cacat itu! Kamu mau Mama buang juga? Hah?”
Petir seketika menyambarku. Luapan emosi berkumpul menjadi satu. Aku tidak dapat lagi berpikir jernih, yang ada di kepalaku hanya Tara. Ingatanku akan sosok mama di depanku yang baik dan keibuan seketika lenyap berganti kebencian serta rasa ketidakpercayaan. Aku langsung berhambur keluar kamar. Air mata telah menggenang di pelupuk mataku. Maaf langit, untuk kali ini biarkanlah aku menangis bersamamu. Hanya untuk kali ini saja..
~~~oOo~~~
Tujuh tahun kemudian..
Kota Jakarta tidak banyak berubah sejak kutinggalkan dulu. Masih pengap dan panas. Sesak dan sumpek. Hari ini kukendarai mobilku melintasi jalan protokol ibu kota. Beruntung aku tidak terjebak kemacetan yang hebat. Hanya beberapa kali tersendat di sana-sini, sisanya lancar. Kepulanganku kali ini bukan untuk mengunjungi papa atau mama, bukan juga untuk sekadar bertemu teman lama. Tapi kepulanganku kali ini adalah untuk menetap dan bekerja sebagai salah satu pengajar anak-anak dengan keterbelakangan mental. Inilah cita-cita yang aku tunggu-tunggu. Setelah aku tidak bisa menepati janjiku untuk membuktikan bahwa adikku adalah anak yang istimewa dalam arti yang sebenarnya, aku mulai berkeinginan untuk membantu merawat anak-anak seperti adikku. Tujuh tahun ini aku gunakan dengan bersungguh-sungguh kuliah di jurusan psikologi anak dan mendalami lebih jauh materi tentang kelainan pada anak di salah satu universitas ternama di Jogjakarta. Setelah lulus, aku mendapat tawaran untuk bekerja di Taman Kanak-kanak khusus untuk anak cacat di Jogjakarta. Beberapa tahun bekerja aku kembali mendapat tawaran dari Jakarta untuk membantu mereka menangani anak-anak dengan keterbelakangan mental. Seketika itu aku memutuskan menerimanya dan mengundurkan diri secara baik-baik dari Taman Kanak-kanak ini. Karena aku membayangkan anak-anak dengan keterbelakangan mental pasti kurang lebih mirip dengan Tara. Aku pasti bisa merawat mereka dengan baik dan tidak akan kubiarkan mereka terabaikan seperti Tara yang hingga saat ini aku tidak tahu dimana keberadaannya. Tara yang malang..
Kuparkirkan mobilku di halaman sekolah ini. Aku sangat terkesan pada sekolah ini. Sekolah yang tidak terlalu besar, tapi terkesan sangat nyaman dan asri dengan pohon rimbun di sana-sini. Sepertinya aku akan menyukai tempat ini, ucapku dalam hati sambil memenuhi paru-paruku dengan sensasi udara sejuk yang menyenangkan.
“Miss Tirza?” Panggil seseorang dari dalam gerbang sekolah. Aku menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri di gerbang sekolah. Aku segera berjalan menghampirinya.
“Ya, saya Tirza Atmadja dari Jogjakarta yang akan diperbantukan di sekolah ini.”, ucapku sambil mengulurkan tangan untuk menjabat wanita itu.
“Saya adalah kepala sekolah ini, Anda bisa memanggil saya Mrs. Catherine. Selamat datang di sekolah kami.”, jawabnya ramah tanpa mengurangi wibawanya. Kami berjabat tangan dengan hangat. Awal penerimaan yang baik.
“Apakah Anda keberatan untuk berjalan-jalan sekeliling sekolah untuk mengenal lebih jauh?” tanya Mrs. Catherine.
“Tidak. Tidak sama sekali, saya justru ingin segera bertemu dengan anak-anak.” Balasku bersemangat. Aku memang sudah tidak sabar ingin mengajar anak-anak tersebut, ingin melihat senyum dan tawa mereka. Berharap dapat mengobati rinduku terhadap Tara.
Mrs. Catherine lantas membimbingku melintasi kelas demi kelas. Murid di sekolah ini dua kali lipat lebih banyak daripada Taman Kanak-kanak dulu di Jogja, begitu pula kelas dan gedungnya. Setelah berjalan cukup jauh dan melewati anak-anak yang sedang belajar di kelas, kami sampai di kelas terakhir. Kelas dengan murid-murid berusia paling besar, antara sepuluh sampai dua belas tahun. Aku mengamati cukup lama murid-murid tersebut. Seorang guru sedang menceritakan sebuah dongeng di depan kelas dan murid-muridnya duduk membentuk setengah lingkaran dengan tertib. Tetapi ada satu murid yang tidak bergabung dengan mereka, melainkan tetap di mejanya dan asyik menggambar.
“Anak itu saya temukan sedang menangis di jalan tujuh tahun lalu. Saya menghampirinya dan menanyakan siapa namanya, mana orang tuanya, tetapi ia tidak menjawab. Jadi, saya bawa dia pulang dan merawatnya. Akhirnya saya tahu kalau anak tersebut penderita autis. Saya pun merawatnya sampai sekarang karena saya sudah terlanjur menyayanginya. Ibu mana yang tega menelantarkan anak semanis dia?”
Tujuh tahun yang lalu.. Tujuh tahun yang lalu tepat saat Tara menghilang dari rumah karena mama membuangnya. Mama yang telah menyesali perbuatan yang diakuinya ia lakukan saat mabuk berat itu. Papa, mama dan aku juga telah mencari Tara kemana-mana. Tetapi tidak ada hasilnya. Akhirnya kami memutuskan untuk merelakan kepergian Tara dengan berat hati. Papa dan mama kemudian resmi bercerai setelah itu dan aku pergi ke Jogjakarta untuk melanjutkan kuliahku. Kehidupanku berjalan sangat sulit dan sepi. Tidak ada hal yang dapat membuatku melupakan Tara. Langit yang mendung selalu mewakili suasana hatiku. Hanya langitlah yang mau memahamiku saat itu.
Perhatianku kembali terpusat pada anak itu. Wajahnya tertutupi rambutnya yang lebat, tangannya asyik memegang krayon. Seperti anak yang menderita autis kebanyakan, pikirannya hanya fokus pada apa yang dikerjakannya saat itu.
“Ia sangat suka menggambar, terutama menggambar kupu-kupu. Ia juga pernah menggambar seorang gadis. Lebih besar beberapa tahun darinya, kami menduga bahwa mungkin itu adalah kakaknya. Karena gambarnya sangat bagus, kami menempelnya di depan kelas. Ya, ini gambarnya.”, seru Mrs. Catherine sambil menunjuk sebuah gambar berukuran sedang tertempel di dinding depan kelas.
Gambar itu sangat familiar. Gambar seorang gadis remaja dengan rambut sebahu dan senyum di bibirnya. Ia mengenakan kaos berwarna putih dan rok selutut berwarna pink. Warna kesukaannya. Di samping tokoh utama yang digambar, beterbangan banyak kupu-kupu yang berwarna-warni dan terbang dengan indahnya. Kupu-kupu yang sama seperti yang selalu digambar adikku. Tara. Di bawah gambar itu ada tulisan kecil berantakan yang hampir-hampir tak terbaca, tapi aku tidak mungkin tidak dapat membaca namaku sendiri, ‘Kak Tirza’.
Mataku kembali tertuju ke arah gadis yang masih asyik menggambar itu. Perasaanku diliputi kegembiraan yang amat sangat. Terima kasih Tuhan, akhirnya engkau menjawab doaku selama ini. Langit pun ikut merasakan suasana hatiku saat ini. Langit sore yang indah, angin berhembus lembut seolah ikut menyampaikan kabar gembira ini. Langit, izinkanlah aku menangis sekali ini lagi, bukan tangis kesedihan tentu, tetapi tangis kebahagiaan.
Aku telah menemukanmu Tara, adikku yang istimewa..
Pemenang Lomba Cerpen Tingkat SMA
Updated by : Afiyon Kristiyan